Jumat, 11 Oktober 2013

EKONOMI POLITIK ISLAM => Membedah Masalah Money Politics, termasuk Sedekah Politik, maupun Infaq Politik, dari Sudut Pandang Ajaran Islam Bukan Saja Penting, tetapi juga Menemukan Momentumnya

  Syariah Islam memandang perkara ekonomi menjadi 2 bagian. Pertama: Ilmu Ekonomi; berhubungan dengan soal bagaimana suatu barang atau jasa diproduksi, misalnya teknik industri, manajemen atau pengembangan sumberdaya baru. Islam tidak mengatur secara khusus tentang ilmu ekonomi. Kedua: Sistem Ekonomi; berhubungan dengan pengurusan soal pemuasan kebutuhan dasar tiap individu di dalam masyarakat serta upaya mewujudkan kemakmurannya. Inilah obyek dari sistem ekonomi Islam.
     Pilar Sistem Ekonomi Islam (SEI) meliputi: (1) konsep kepemilikan; (2) pengelolaan kepemilikan; (3) distribusi kekayaan di antara individu. Islam mengatur sedemikian rupa kepemilikan yang memungkinkan individu untuk memuaskan kebutuhannya seraya tetap menjaga hak-hak masyarakat. Islam membagi kepemilikan menjadi 3: milik pribadi; milik umum; milik negara.  
Pengelolaan kepemilikan harus dijalankan sesuai dengan ketentuan syariah. Islam mendorong warga Negara Khilafah, baik lelaki maupun wanita, baik Muslim maupun kafir zhimmi, untuk mengelola kepemilikannya, mengejar keuntungan tanpa hambatan dan memuaskan kebutuhan mereka; tanpa harus mengakibatkan ekploitasi ataupun korupsi yang ditimbulkan dari aktivitas mereka. Islam juga mendorong pemberian sedekah, hibah, pinjaman tanpa riba dsb. Sebaliknya, Islam melarang penumpukan kekayaan, pemborosan atau pembelanjaan untuk mengejar hal-hal yang haram.
    Distribusi kekayaan dan kemakmuran di dalam masyarakat adalah faktor kritis dalam menentukan kecukupan sumberdaya bagi masyarakat untuk memenuhi kebutuhan mereka. Oleh karena itulah Islam menjadikan distribusi barang/jasa sebagai problem utama ekonomi. Bagi mereka yang tidak mampu memenuhi kebutuhannya, negara (Khilafah) mengurusi mereka dengan kekayaan yang terkumpulkan dari harta milik umum, harta milik negara dan zakat yang dibayarkan oleh rakyat. Berdasarkan paradigma ini Islam telah menetapkan politik ekonomi dan mekanisme ekonomi untuk menjamin kesejahteraan umat manusia, sekaligus menjamin kemajuan serta pertumbuhan yang berkeadilan yang disertai dengan pemerataan.
   Menurut Abdurahman al-Maliki di dalam As-Siyâsah al-Iqtishâdiyah al-Mutslâ (Politik Ekonomi Ideal), Politik Ekonomi Islam (PEI) adalah: (1) menjamin pemenuhan semua kebutuhan pokok (sandang, pangan dan papan) setiap orang; (2) memberikan peluang kepada setiap orang untuk memenuhi kebutuhan sekunder dan tersiernya sesuai dengan kadar kemampuannya sebagai individu yang hidup di masyarakat tertentu yang memiliki gaya hidup yang khas. PEI diwujudkan melalui kebijakan-kebijakan ekonomi, termasuk kebijakan APBN.  
     Politik ekonomi bisa dikategorikan dalam money politik atau Politik uang atau politik perut adalah suatu bentuk pemberian atau janji menyuap seseorang baik supaya orang itu tidak menjalankan haknya untuk memilih maupun supaya ia menjalankan haknya dengan cara tertentu pada saat pemilihan umum. Pemberian bisa dilakukan menggunakan uang atau barang. Politik uang adalah sebuah bentuk pelanggaran kampamye. Politik uang umumnya dilakukan simpatisan, kader atau bahkan pengurus partai politik menjelang hari H pemilihan umum. Praktik politik uang dilakukan dengan cara pemberian berbentuk uang, sembako antara lain beras, minyak dan gula kepada masyarakat dengan tujuan untuk menarik simpati masyarakat agar mereka memberikan suaranya untuk partai yang bersangkutan. 
 Menurut kajian ekonomi politik islam pada kutipan diatas bersumber dari wacana http://www.antaranews.com/berita/332241/munas-nu-bahas-fatwa-sedekah-politik bahwasanya Musyawarah Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama akan membahas sekaligus menetapkan fatwa hukum tentang "sedekah" dan zakat yang secara langsung atau tidak langsung dikaitkan dengan kepentingan politik, terutama untuk mempengaruhi pilihan seseorang. Sedekah dan zakat yang dimaksudkan untuk mempengaruhi pilihan seseorang terhadap calon tertentu termasuk dalam kategori "risywah" atau suap yang dihukumi haram, baik bagi pihak pemberi maupun penerima.
   Termasuk kategori suap atau bisa juga pemberian dalam bentuk lain seperti pengganti biaya transportasi, ongkos kerja, kompensasi meninggalkan kerja yang dimaksudkan agar penerima memilih calon tertentu. Konsekuensinya menjadi haram pula hukumnya untuk memilih calon yang memberikan suap tersebut. Sementara untuk zakat, sedekah, atau pemberian lain yang tidak jelas-jelas dipahami oleh penerima bahwa pemberian itu dimaksudkan agar ia memilih calon yang memberikan pemberian itu, maka hukumnya mubah atau boleh bagi penerima, namun haram bagi pihak pemberi.
   Praktik "risywah" politik, kata Said Aqil, menjadikan demokrasi di Indonesia tidak ideal, karena kandidat yang terpilih pada umumnya hanya bermodalkan materi, tanpa adanya kemampuan untuk menjadi seorang pemimpin. "Dengan maraknya politik uang, di sinilah tugas kita semua untuk bersama-sama bersikap dewasa dan mendewasakan masyarakat, jangan memilih pemimpin hanya karena adanya uang," tandas Said Aqil.

 
Sumber:
http://www.hizbut-tahrir.or.id/, Ekonomi Islam: Mensejahterakan Seluruh Rakyat, Juni 2011

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar