Syariah Islam
memandang perkara ekonomi menjadi 2 bagian. Pertama: Ilmu Ekonomi;
berhubungan dengan soal bagaimana suatu barang atau jasa diproduksi,
misalnya teknik industri, manajemen atau pengembangan sumberdaya baru.
Islam tidak mengatur secara khusus tentang ilmu ekonomi. Kedua: Sistem Ekonomi; berhubungan
dengan pengurusan soal pemuasan kebutuhan dasar tiap individu di dalam
masyarakat serta upaya mewujudkan kemakmurannya. Inilah obyek dari
sistem ekonomi Islam.
Pilar
Sistem Ekonomi Islam (SEI) meliputi: (1) konsep kepemilikan; (2)
pengelolaan kepemilikan; (3) distribusi kekayaan di antara individu.
Islam mengatur sedemikian rupa kepemilikan yang memungkinkan individu
untuk memuaskan kebutuhannya seraya tetap menjaga hak-hak masyarakat.
Islam membagi kepemilikan menjadi 3: milik pribadi; milik umum; milik
negara.
Pengelolaan
kepemilikan harus dijalankan sesuai dengan ketentuan syariah. Islam
mendorong warga Negara Khilafah, baik lelaki maupun wanita, baik Muslim
maupun kafir zhimmi, untuk mengelola kepemilikannya, mengejar
keuntungan tanpa hambatan dan memuaskan kebutuhan mereka; tanpa harus
mengakibatkan ekploitasi ataupun korupsi yang ditimbulkan dari
aktivitas mereka. Islam juga mendorong pemberian sedekah, hibah,
pinjaman tanpa riba dsb. Sebaliknya, Islam melarang penumpukan
kekayaan, pemborosan atau pembelanjaan untuk mengejar hal-hal yang
haram.
Distribusi
kekayaan dan kemakmuran di dalam masyarakat adalah faktor kritis dalam
menentukan kecukupan sumberdaya bagi masyarakat untuk memenuhi
kebutuhan mereka. Oleh karena itulah Islam menjadikan distribusi
barang/jasa sebagai problem utama ekonomi. Bagi mereka yang tidak mampu
memenuhi kebutuhannya, negara (Khilafah) mengurusi mereka dengan
kekayaan yang terkumpulkan dari harta milik umum, harta milik negara
dan zakat yang dibayarkan oleh rakyat. Berdasarkan paradigma ini Islam
telah menetapkan politik ekonomi dan mekanisme ekonomi untuk menjamin
kesejahteraan umat manusia, sekaligus menjamin kemajuan serta
pertumbuhan yang berkeadilan yang disertai dengan pemerataan.
Menurut Abdurahman al-Maliki di dalam As-Siyâsah al-Iqtishâdiyah al-Mutslâ (Politik
Ekonomi Ideal), Politik Ekonomi Islam (PEI) adalah: (1) menjamin
pemenuhan semua kebutuhan pokok (sandang, pangan dan papan) setiap
orang; (2) memberikan peluang kepada setiap orang untuk memenuhi
kebutuhan sekunder dan tersiernya sesuai dengan kadar kemampuannya
sebagai individu yang hidup di masyarakat tertentu yang memiliki gaya
hidup yang khas. PEI diwujudkan melalui kebijakan-kebijakan ekonomi,
termasuk kebijakan APBN.
Politik ekonomi bisa dikategorikan dalam money politik atau Politik uang atau politik perut adalah suatu bentuk
pemberian atau janji menyuap seseorang baik supaya orang itu tidak
menjalankan haknya untuk memilih maupun supaya ia menjalankan haknya
dengan cara tertentu pada saat pemilihan umum. Pemberian bisa dilakukan
menggunakan uang atau barang. Politik uang adalah sebuah bentuk
pelanggaran kampamye. Politik uang umumnya dilakukan simpatisan, kader atau bahkan pengurus partai politik menjelang hari H pemilihan umum.
Praktik politik uang dilakukan dengan cara pemberian berbentuk uang,
sembako antara lain beras, minyak dan gula kepada masyarakat dengan
tujuan untuk menarik simpati masyarakat agar mereka memberikan suaranya
untuk partai yang bersangkutan.
Menurut kajian ekonomi politik islam pada kutipan diatas bersumber dari wacana http://www.antaranews.com/berita/332241/munas-nu-bahas-fatwa-sedekah-politik bahwasanya Musyawarah Alim
Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama akan membahas sekaligus
menetapkan fatwa hukum tentang "sedekah" dan zakat yang secara langsung
atau tidak langsung dikaitkan dengan kepentingan politik, terutama untuk
mempengaruhi pilihan seseorang. Sedekah dan zakat
yang dimaksudkan untuk mempengaruhi pilihan seseorang terhadap calon
tertentu termasuk dalam kategori "risywah" atau suap yang dihukumi
haram, baik bagi pihak pemberi maupun penerima.
Termasuk kategori
suap atau bisa juga pemberian dalam bentuk lain seperti pengganti biaya
transportasi, ongkos kerja, kompensasi meninggalkan kerja yang
dimaksudkan agar penerima memilih calon tertentu. Konsekuensinya menjadi haram pula hukumnya untuk memilih calon yang memberikan suap tersebut. Sementara
untuk zakat, sedekah, atau pemberian lain yang tidak jelas-jelas
dipahami oleh penerima bahwa pemberian itu dimaksudkan agar ia memilih
calon yang memberikan pemberian itu, maka hukumnya mubah atau boleh bagi
penerima, namun haram bagi pihak pemberi.
Praktik "risywah"
politik, kata Said Aqil, menjadikan demokrasi di Indonesia tidak ideal,
karena kandidat yang terpilih pada umumnya hanya bermodalkan materi,
tanpa adanya kemampuan untuk menjadi seorang pemimpin. "Dengan
maraknya politik uang, di sinilah tugas kita semua untuk bersama-sama
bersikap dewasa dan mendewasakan masyarakat, jangan memilih pemimpin
hanya karena adanya uang," tandas Said Aqil.
Sumber:
http://www.hizbut-tahrir.or.id/, Ekonomi Islam: Mensejahterakan Seluruh Rakyat, Juni 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar